Di sebuah perusahaan teknologi yang dulu dikenal sebagai tempat kerja impian, suasana mulai berubah. Dulu, setiap pagi penuh tawa dan semangat di ruang kerja terbuka yang dipenuhi ide-ide baru.
Kini, ruang yang sama terasa sunyi dan tegang, para pegawai datang tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan mereka, lalu pulang tanpa sepatah kata, inovasi menurun, kolaborasi melemah, dan kreativitas menguap.
Pemimpin mereka, seorang visioner yang dulu disegani karena keberaniannya membuat terobosan, kini menjadi sosok yang menakutkan, setiap keputusan diambil berdasarkan data, target, dan angka, tanpa ruang bagi pertimbangan manusia di baliknya. Sang pemimpin yakin, bahwa produktivitas adalah kunci utama kesuksesan.
Namun lambat laun, sang pemimpin menyadari sesuatu, ternyata laba memang naik, tapi semangat kerja turun, orang-orang terbaik mulai pergi, dan mereka yang bertahan melakukan pekerjaan tanpa gairah. Perusahaan ini masih beroperasi, tetapi tak lagi hidup, seperti mesin tanpa jiwa.
Narasi singkat di atas mengisyaratkan sebuah konsekuensi di era yang agile, banyak organisasi terjebak dalam paradigma yang menomorsatukan hasil dan mengabaikan sisi manusia. Keputusan berbasis data dianggap objektif, efisiensi dijadikan ukuran utama, dan kemanusiaan tersisih dalam prosesnya. Padahal, keberhasilan jangka panjang sebuah organisasi selalu bergantung pada satu hal: manusianya.
Ketika manusia tidak lagi merasa dihargai, dihormati, dan didengarkan, maka semua strategi canggih sekalipun akan kehilangan daya hidupnya. Dalam konteks ini, kepemimpinan yang berfokus pada manusia berarti memprioritaskan kebutuhan emosional dan psikologis tim, serta menciptakan lingkungan kerja yang aman dan mendukung. Kepemimpinan seperti ini dapat membantu meningkatkan kepercayaan dan loyalitas tim, serta meningkatkan kinerja dan produktivitas.
Rehumanizing Leadership adalah sebuah pendekatan kepemimpinan yang mengembalikan manusia pada pusat dari setiap keputusan dan tindakan, tidak hanya berfokus pada hasil, tetapi juga pada makna, bukan tentang mengatur orang untuk mencapai target, melainkan tentang menginspirasi mereka untuk tumbuh, berkembang, dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Kepemimpinan sejati adalah proses memanusiakan manusia. Namun banyak pemimpin terjebak dalam dehumanisasi—sebuah kondisi ketika orang diperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Dehumanisasi terjadi ketika martabat dan nilai manusia diabaikan, ketika empati digantikan oleh angka, dan ketika hubungan antar individu berubah menjadi sekadar transaksi. Sebaliknya, humanisasi adalah proses menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, menghargai martabat setiap orang, dan melihat manusia bukan sebagai sumber daya, melainkan sebagai sumber kehidupan organisasi.
Penggagas Remunizing Leadership, Sudhanshu Palsule pernah berkata, “Leadership begins with you, but it is not about you.” Kepemimpinan memang dimulai dari diri sendiri, namun bukan tentang diri sendiri. Kepemimpinan adalah tentang orang lain, tentang bagaimana kita menghubungkan diri dengan tujuan yang lebih besar, serta membangun hubungan yang bermakna dan saling menghidupkan, inilah esensi dari Rehumanizing Leadership: kepemimpinan yang berakar pada tujuan (purpose) dan tumbuh melalui empati (empathy).
Seorang pemimpin yang memiliki purpose memahami bahwa setiap kebijakan harus memiliki makna bagi orang-orang yang menjalankannya dan menerjemahkan tujuan organisasi ke dalam keputusan sehari-hari yang tetap mempertimbangkan nilai kemanusiaan. Pemimpin tersebut mengundang timnya berdialog, bukan sekadar mendikte arah, serta mengajak setiap orang menemukan tujuan pribadi dan menghubungkannya dengan tujuan bersama. Melalui pendekatan seperti ini, setiap anggota tim tidak hanya bekerja karena kewajiban, tetapi rasa memiliki alasan yang bermakna untuk berkontribusi.
Organisasi akan tumbuh ketika 2 kebutuhan dasar manusia terpenuhi: memiliki tujuan dan merasakan empati. Purpose memberi arah, sementara Empathy memberi makna. Tanpa keduanya, organisasi kehilangan daya juang dan semangat kolektifnya. Pemimpin yang hanya berfokus pada hasil akan mendapatkan kepatuhan, tetapi pemimpin yang memahami manusia akan mendapatkan komitmen.
Kepemimpinan yang memanusiakan tidak menempatkan pemimpin sebagai pusat kuasa, tetapi sebagai fasilitator pertumbuhan. Pemimpin tersebut hadir bukan untuk mengontrol, melainkan untuk menumbuhkan, tidak hanya berbicara tentang kinerja, tetapi juga kesejahteraan, menyadari bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari seberapa besar pencapaian individu, tetapi dari seberapa besar dampaknya bagi orang lain.
Tanpa Rehumanizing Leadership, organisasi mungkin tetap produktif, namun kehilangan jiwa, karena ketika manusia tidak lagi dihargai, kehancuran hanyalah soal waktu. Ketika manusia ditempatkan kembali di pusat kepemimpinan, sesuatu yang ajaib terjadi: kerja kembali bermakna, tim kembali punya semangat, dan organisasi kembali hidup.
Menjadi pemimpin yang memanusiakan bukan sekadar tuntutan moral, melainkan kebutuhan strategis, karena di dunia kerja yang terus berubah, hanya organisasi yang memiliki jiwa yang akan mampu bertahan, dan itu selalu berawal dari 1 hal sederhana: kepemimpinan yang berlandaskan purpose dan empathy.
Sukses selalu buat Anda dan tim!
17 Oktober 2025
Hans Banqharra – Principal Consulting @Sarel Sentra Inspira